Kampung dan Kota

Pada masa doeloe kala, orang gunung menyebut warga yang sudah berkumpul dalam satu tempat, tertata dan terkoordinir adalah ................ orang kampung
Belanda menyebut pemukiman yang dihuni orang pribumi di Batavia dan Jawa adalah ...... orang Kampoeng
Orang yang tidak sempat mengenyam pendidikan formal disebut ...... kampungan
Orang yang tidak tahu tata krama disebut ................... kampungan
Orang yang tidak menaati hukum disebut ................. kampungan
Jadi, siapa yang orang kampung? kampungan?

Jangan berlatih silat

Perjalanan ke Cianjur sangat menyenangkan bisa melihat hamparan sawah yang menghijau sejauh mata memandang. Demikian asri, segar dan menyejukkan mata, hati, perasaan dan rohani. Indahnya negeriku..........
Disamping tempat dudukku ada teman ngobrol, seorang kakek yang sepertinya sudah berpengalaman dan kaya dengan pemahaman. Terjadilah adu bako :
"Bagaimana pak, pencak Cikalong masih sering dipagelarkan di kota Cianjur ini?, tanya penulis.
"Nak, tidak baik belajar silat karena hanya membuat tawuran, perkelahian dan kekerasan," jawabnya.
Waduh, jawaban ini membuatku tercenung. Benarkah itu? Silat adalah sejenis olah raga serupa dengan karate, taekwondo, wushu, tinju. Mengapa demikian sinis dan pesimis pemahaman kakek kita terhadap kekayaan bangsanya sendiri?!
Rupanya sang kakek punya guru besar yang telah mewasiatkan jawaban tadi, setelah ditelisik lebih lanjut.
Padahal kalau kita jujur dan obyektif, olahraga (termasuk silat) adalah salah satu kecerdasan fisik yang harus dimiliki setiap komponen masyarakat, kalau ingin maju bangsanya.
Kecuali sang guru besar tadi sedang melakukan pencucian otak (brainwashing) murid-muridnya agar jadi manusia lemah, lelaki letoy yang tak berdaya.
Ya, lihatlah sekarang, Cianjur termasuk salah satu penyuplai TKI yang banyak selain kasus Traficking Woman berdampingan dengan Sukabumi, Karawang dan beberapa daerah lainnya.
Pintarnya sang guru.....

Tak Usah Pintar !!!

Sebuah malam indah kota Bandung dalam gemerlap sebuah mall plaza. Ternikmatilah makan malam saat itu. Di tengah kesenangan tersebut, serombongan mahasiswa cantik dan gagah sedang melakukan survey obyek sosial.
Kebetulan penulis dapat anugrah didatangi neng cantik itu dan terlibatlah pada sebuah perbincangan :
"Wah bersyukurlah, neng jadi orang pintar sehingga berkesempatan kuliah di PTN sangat ternama di negeri ini, " cetus penulis.
"Pak, Indonesia mah tidak butuh orang pintar," si mahasiswi menukas. "Karena kalau jadi orang pintar, hanya bisa membodohi saja pekerjaannya"..
Wahhh, penulis hanya melongo. Kagum pada jawaban sangat philosofis, sekaligus ngeri juga bila paham serupa ini sudah demikian mewabah di masyarakat intelektual Indonesia.
Bukan hanya sekali ini, terdengar pernyataan seperti itu.
Karena ada pertanyaan yang sangat mengganjal : "jika banyak orang pintar Indonesia kerjaannya membodohi orang lain, maka "dengan apakah kita melawan orang-orang pintar keblinger itu?"
Apakah dengan kebodohan kita, dengan ketololan kita, atau dengan keluguan kita........................!
Atau barangkali si neng sedang mencuci otak (brainwashing) penulis agar tidak berminat jadi orang sukses seperti beliau. Yang bisa jadi juga, beliau dan beliau lainnya yang sangat banyak di kampusnya pun telah dicuci otak dengan pesan sponsor yang sama .... entah oleh siapa?!

Awal Pendidikan Modern di Indonesia 2

VOC merupakan pembawa pengaruh pendidikan Eropa. Pada 1834, berkat VOC dan para missionaries berdiri sekolah pendidikan guru (kweekschool) Nusantara. Pendidikan guru ini mula-mula diselenggarakan di Ambon pada 1834. Sekolah ini berlangsung sampai 30 tahun (1864) dan dapat memenuhi kebutuhan guru pribumi bagi sekolah yang ada waktu itu. Sekolah serupa diselenggarakan oleh zending di Minahasa pada 1852 dan 1855 dibuka satu lagi di Tanahwangko (Minahasa). Bahasa pengantar yang digunakan sekolah di Ambon dan Minahasa adalah bahasa Melayu.
Sekolah pendidikan guru negeri pertama lainnya pada 1852 di Surakarta. Pada waktu sebelumnya, Pemerintah telah menyelenggarakan kursus guru yang diberi nama Normaal Cursus yang dipersiapkan untuk menghasilkan guru Sekolah Desa. Sekolah guru di Surakarta ini murid-muridnya diambil dari kalangan priyayi Jawa. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Jawa dan melayu. Sekolah ini pada 1875 dipindahkan dari Surakarta ke Magelang.
Setelah pendirian Sekolah guru di Surakarta berturut-turut didirikan sekolah sejenis di Bukit Tinggi (Fort de Kock) pada 1856, Tanah Baru, Tapanuli pada 1864, yang kemudian ditutup pada 1874, Tondano pada 1873, Ambon pada 1874, Probolinggo pada 1875, Banjarmasin pada 1875, Makassar pada 1876, dan Padang Sidempuan pada 1879.
Di Kweekschool, bahasa Belanda mulai diajarkan pada 1865, dan pada 1871 bahasa tersebut merupakan bahasa wajib, tetapi pada 1885 dan pada 1871 bahasa tersebut tidak lagi merupakan bahasa wajib. Pada dasawarsa kedua abad ke-20, bahasa Belanda bukan lagi hanya bahasa wajib melainkan menjadi bahasa pengantar.
Pada akhir abad ke-19 pemerintah hanya menyelenggarakan kursus-kursus malam di Batavia (1871) dan Surabaya (1891). Oleh pihak Katolik didirikan kursus-kursus di Batavia, Semarang, dan Surabaya (1890). Pada abad ke-20, ada tiga jenis sekolah guru : 1). Normaalschool adalah sekolah guru yang menggunakan pengantar bahasa daerah 2) Kweekschool adalah sekolah guru dengan lama belajar empat tahun dan menerima lulusan sekolah dasar berbahasa Belanda. 3). Hollandsch Inlandsch Kweekschool (HIK) yaitu menggunakan pengantar bahasa Belanda dengan masa pendidikan enam tahun dan bertujuan menghasilkan guru HIS/HCS.
Pendidikan Guru oleh para pribumi juga mulai dilakukan Organisasi Muhammadiyah yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 di Yogyakarta. Gerakan serupa mucul pada 7 Juni 1924. Taman Siswa cabang Mataram (Yogyakarta) membuka bagian MULO-Kweekschool (Taman Guru) dengan lama belajar empat tahun sesudah tamat Taman Muda (SD) atau setingkat.
(coba perhatikan, adakah yang dididirikan di Jawa Barat?! wajar, sangat wajar Jabar belum bisa menghasilkan seorang presiden pun hingga detik ini. Walau ibukota negara ada di tanah tumpah darahnya he he he......:)) terlambat start boss, but................. don't worry be happy!)

Awal Pendidikan Modern di Indonesia

Awal Pendidikan Modern di Indonesia

Sekolah dengan sistem barat di Hindia Belanda telah ada tahun 1800 yang didirikan dan dikelola pihak swasta yang dikhususkan untuk orang-orang Eropa, Indo Eropa, kaum Kristen bumiputera dan atau kaum kooperator lainnya. Pada 1848 di Batavia didirikan sekolah dasar, berikutnya 1860 sekolah menengah Eropa yang bernama Gymnasium Willem III. Sekelompok kecil bumiputera ada yang menjadi peserta didik walaupun masih mendapat tentangan dari kaum Eropa itu sendiri.
Sekolah Dokter Jawa (de Djawaschool) berdiri tahun 1873 yang pada 1903 diubah menjadi STOVIA. Tahun 1893 pemerintah kolonial mendirikan sekolah desa kelas I (5 taun) dan sekolah desa kelas II (3 tahun) dengan bahasa pengantar bahasa lokal setempat. Tahun 1907 sekolah desa-sekolah desa tersebut ditingkatkan menjadi sekolah rakyat (Volksschool - 6 tahun). Tercatat 731 sekolah rendah dengan murid sekitar 131.000 pada akhir abad 19. Kemudian pada tahun yang sama, sekolah kelas II diperluas dan didirikan sekolah kelas I dengan pengantar Bahasa Belanda.
Pada tahun 1912, sekolah Kelas I berubah menjadi Hollandsche Inlandsche School (HIS).
Pada masa ini, usaha mendidik kaum perempuan telah muncul dengan satu perintisnya Rd. Dewi Sartika di Bandung dengan mendirikan pendidikan swasta bernama Sekolah Istri (tahun 1904, kemudian berubah menjadi Keutamaan Istri). Puteri Mardika (1912) di Batavia, Keutamaan Istri Minangkabau (1914) di Minang. Berikutnya, tuan dan Nyonya C. Th. van Deventer pada tahun 1912 mendirikan Kartinifonds (Dana Kartini) yang tujuannya mendirikan sekolah-sekolah Kartini. Sekolah pertama didirikan di Semarang 1913, kemudian di Batavia, Malang, Madiun dan Bogor.