SUNDA

Saat ini Sunda menunjukkan sebuah identitas etnik, kearifan lokal seni budaya tradisi dalam Komunitas warga bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia. Naskah Pararaton (1357 M) dan Nagarakertagama pupuh XIII, XIV dari zaman kerajaan Majapahit dengan tegas menyebutkan keberadaan Sunda sebagai sebuah kerajaan dan wilayahnya.
Dalam berbagai buku sejarah, masyarakat Sunda identik dengan berdirinya kerajaan Tarumanegara dan Purnawarman sebagai rajanya kira-kira pada pertengahan abad ke-5 Masehi. Ibu kota negara ini sekitar tepi sungai daerah Karawang-Bekasi (sekarang). Sumber yang menerangkan mengenai kerajaan ini yaitu sebuah prasasti di Jakarta, sebuah prasasti di Kota Kapur Bangka, dan sebuah prasasti di Banten, serta 5 prasasti yang terdapat di Bogor. Sedangkan sumber lain telah ditemukan yaitu dua buah arca di Cibuaya merupakan pelengkap bukti cerita Kerajaan Tarumanegara. Ketika Tarumanegara mengalami kemunduran, di tanah Sunda berdiri beberapa kerajaan, diantaranya Kuningan, Galuh, dan Sunda.Kerajaan-kerajaan tersebut bergabung, dan disebut kerajaan Sunda.
Ibukota kerajaan ini berpindah-pindah sejak dari Galuh (sekitar Ciamis sekarang) pada awal abad ke-8 Masehi, sampai di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang) tahun 1579 M. Pada masa Sri Baduga Maharaja, kerajaan ini mengalami perkembangan dalam bidang pertanian dan perniagaan. Adanya beberapa kota pelabuhan seperti Banten, Pontang, Cikande, Tangerang, Sunda Kalapa, Karawang dan Cimanuk merupakan bukti hal tersebut. Ibukota Pakuan pada masa itu dapat dicapai dari Sunda Kalapa (Jakarta, sekarang) dengan kapal menyusuri S. Ciliwung. Raja-raja yang memerintah Kerajaan Sunda diantaranya adalah: Sanjaya (tahun 732 M), Maharaja Sri Jayabhupati (1030 M), Sri Baduga Maharaja (1482-1521 M), hingga Ragamulya Suryakencana (1567-1579 M).
Menjelang sirna ing bhumi pada 8 Mei 1579 M, empat senopati Pakuan Pajajaran berhasil menyelamatkan atribut kerajaan (berupa mahkota) untuk menyerahkannya pada Pangeran Geusan Ulun di Sumedanglarang. Pangeran Geusan Ulun yang dinobatkan menjadi raja Sumedanglarang pada tanggal 18 Nopember 1580 ini telah beragama Islam menguasai wilayah Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Bandung.
Sementara dari koleksi pustaka Keraton Cirebon, keraton yang masih tegak berdiri serta berfungsi di wilayah barat P. Jawa ini banyak menyimpan catatan kuno lainnya yang sangat menarik. Pustaka-pustaka berharga itu diantaranya kitab-kitab Pangeran Wangsakerta dan lain-lain menyebutkan rangkaian sejarah Sunda bukan hanya berawal dari Tarumanegara saja. Akan tetapi jauh sebelum itu terangkai peradaban yang tercatat dari masa ke masa. Demikian pula perlu penelusuran lebih dalam terhadap khasanah pustaka Tiongkok, kitab negeri-negeri Arab, catatan bangsa India juga tulisan bangsa Eropa yang masa itu telah melakukan perdagangan ke segenap penjuru, mungkin menyisakan berbagai cerita tentang Jawa bagian barat masa lalu.
Masa Islam
Pada tahun 1350 telah lahir salah seorang keturunan Pajajaran, yaitu Bratalegawa yang berprofesi sebagai saudagar ke berbagai pulau hingga manca negara. Bratalegawa ini kemudian memeluk agama Islam dan dikenal sebagai Haji Purwa Galuh. Haji Purwa bersama keluarganya merupakan penyebar agama Islam pertama di wilayah tatar Sunda. Pesantren pertama didirikan pada tahun 1416 M di Pura Dalem Karawang. Pada masa itu, konon armada negeri Cina yang dipimpin Laksamana muslim Cheng ho yang sedang mengadakan perjalanan muhibah, sempat singgah di Karawang ini pula. (dikutip dari buku Dari Holotan ke Jakarta dan Bunga Rampai Jawa Barat)

Tidak ada komentar: